17.11.09

Marxisme dan Max Weber

Marxisme
Pendidikan yg radikal diluar pemikiran pokok filsafat pendidikan. Pemikiran pendidikan radikal sedikitnya memuat tiga sumber. Tradisi anarkis berkembang pada abad ke 18 dan berlanjut hingga abad ke 19 dan 20 yang secara konsisten menentang persekolahan umum sebagai sesuatu yang destruktif pada otonomi individu. Tradisi marxist telah mengkritik sekolah sebagai bentuk alienation (keterasingan) dalam dunia industri modern. Tradisi Marsist muncul sebagai penanggulangan keterasingan yang merupakan langkah pertama dalam perubahan yang radikal. Fraire berada dalam tradisi tersebut dengan theory of conscientization (teori penyadaran). Ketiga tradisi dipresentasikan oleh pengikut Freud dan tersmasuk seperti Wilhelm Reich dan A. S. Neill. Tradisi tersebut menekankan pada perubahan sifat kepribadian, struktur keluarga, dan praktek pengasuhan anak sebagai tahap pertama dalam pendidikan radikal.
Tradisi Anarkist
Tradisi anarkis dalam pendidikan telah diuji oleh Spring (1973, 1975). Sebagai filsapat sosial dan politik para anarkisme yang telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental mengenai peran dan otoritas alamiah dalam masyarakat, dan semenjak abad ke 18 hal tersebut telah mempertanyakan berbagai eksistensi sistem persekolahan yang dilaksanakan oleh negara dan kemungkinan bentuk non-authoritarian dalam pendidikan.
Para penganut aliran anarkisme menentang sistem pendidikan nasional kerena keyakinannya bahwa pendidikan nasional dalam sebuah negara dipakai untuk kepentingan politik dan melanggengkan kekuasaan. Perhatian utama dari tradisi tersebut menyajikan berbagai kemungkinan otonomi personal (pribadi). Francisco Ferre, seorang penganut anarkis Spanyol, mengkritik sistem pendidikan dalam pengkodisian siswa untuk ketaatan dan kepatuhan (1913). Sistem pendidikan menerutnya, terikat oleh dogma-dogma politis dan nerusaha membentuk individu untuk menjadi orang negera yang berguna dengan menghilangkan otonomi pribadi dan membatasi kekuatan individu. Inti atau hati pendidikan menurut para aliran anarkist adalah membangun individu untuk dapat memilihi, bebas dari dogma-dogma dan prasangka, dan individu dapat menentukan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan dirinya sendiri. Leo Tolstoi, seorang Kristian Rusia penganut aliran anarkis membedakan antara kebudayaan dan pendidikan. Kebudayaan dipresentasikan penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai tanpa disadari dan disengaja yang membentuk individu; pendidikan membentuk karakter dan menerapkan berbagai bentuk paksaan yang dapat diterima dengan disadari dan disengaja.
Tradisi Sosialis Marxist
Tradisi sosialis marxis dalam pendidikan berusaha menghasilkan kebebasan dan otonomi seseorang melalui perubahan yang revolusioner dari politik ekonomi kapitalis pada bentuk pemerintahan dan ekonomi sosialis. Marx sendiri tidak memberikan pendidikan sebagai suatu peran yg penting dalam membuat revolusi sosialis, pemikiran ini lebih dekat dengan kepentingankepentingan kelas dominan. Pada tahun 1932, ditengah sebuah tekanan, Counts menentang terhadap apa yang telah dicapai para pendidik Amerika terhadap kekuatan politik dan membawa negara pada sosialisme. Seorang pendidik Amerika yang konsisten memelihara posisi sosialis marxis dalam filsafat pendidikan dalah Theodore Brameld, Prof.Emeritus di Universitas Bolton. Dalam hidupnya Brameld telah menyisakan keyakinannya bahwa pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat sosialis, meskipun dia menolak metode indokrinasi yang diungkapkan oleh Counts. Michael Katz (1968) menunjukan bagaimana mereformasi berbagai macam gerakan pendidikan dalam sejarah negara tersebut yang telah mengalami kegagalan untuk mewujudkan perubahan radikal yang dibutuhkan. Reformasi pendidikan menurut analisisnya adalah upaya untuk menghindari perubahan yang radikal dengan perubahan moderat yang mengesankan dalam struktur dan metode pengajaran.
Dalam pandangan tersebut keuntungan Marxisme terhadap dunia pendidikan yang salah satunya pendidikan nonformal adalah dimana pendidikan tidak hanya difokuskan pada persekolahan tetapi memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk menentukan pendidikannya. Pendidikan keterampilan yang menghargai otonomi individu berkembang, dimana ada pandangan yang penting mengenai esesial pendidikan tidak hanya harus dilaksanakan di sekolah dan menjadi alat kepntingan politik semata, namun pendidikan mengarah pada pemberdayaan masyarakat untuk hidup lebih sadar akn kepentingan-kepetingannya.
Namun kekurangannya, jika wilayah sulit terjangkau dan masyarakat belum memiliki inisiatif dan kemandirian makan pendidikan terutama pendidikan nonformal akan sulit tercapai. Dikarenakan ada sebagian masyrakat yang harus dilakukan dengan pendekatan Up-Down, disini peran pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dan memiliki kekuatan dalam segi politik dan finansial dibutuhkan.
Max Weber
Keuntungan terhadap pendidikan nonformal, weber menekankan pada mobilitas sosial dan ekonomi yang berasaskan religius. Masyakat dapat dikembangkan melalui kelas sosial nya dan keyakinannya, pendidikan nonformal bia mengarahkan pada salah satu penekanan keahlian atau pengetahuan tertentu yang lebih khusus untuk memebilisasi dirinya sehingga dapat berkembang dengan lebih baik dan cepat, dimana pengetahuan dan keterampilan yang tidak bisa secara lebih mendalam diberikan dalam persekolahan.
Namun kekurangan Max Weber bagi pendidikan nonformal, Weber cenderung mengarah pada modal dan kapitalisme sehingga memunculkan persaingan yang tinggi dalam aspek kapital. Dan hal ini perlu ditelaah secara lebih mendalam dikarenakan pendidikan jangan sampai menjadi industri kapital yang menimbulkan persaingan untung rugi secara materi.

11.11.09

ujian

1. Tinjauan ontologis, epistimologi, dan aksiologis pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan kewirausahaan.
Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional diselenggarakan melalui tiga jalur, yaitu : Pendidikan formal (sekolah), jalur pendidikan Nonformal (keluarga) dan jalur pendidikan Informal (luar sekolah). Secara umum, sasaran dari program-program pendidikan nonformal adalah mereka yang tergolong kurang beruntung, baik dari aspek ekonomi, geografis, dan sosial budaya. Oleh karena itu, aspek akademis dan kecakapan hidup dalam program-program pendidikan nonformal selalu dibelajarkan secara integrasi dalam rangka peningkatan kualitas kesejahteraan hidup seperti yang diharapkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi yang orientasi belajarnya berpusat pada situasi kehidupan sosial yang memperhitungkan perbedaan dalam gaya, waktu, tempat, dan ketepatan belajar, sehingga memiliki perubahan yang signifikan dalam perkembangan kognitif, emosional, dan prilaku serta psikososialnya yang sesuai dengan ciri-ciri kegiatan pembelajaran yang dapat memberdayakan potensi masyarakat khususnya peserta didik.
Ciri-ciri tersebut yaitu :
1. Proses membangun pemahaman/makna terhadap informasi atau pengalaman
2. Berpusat pada peserta didik
3. Belajar dengan mengalami
4. Mengembangkan keterampilan sosial, kognitif dan emosional
5. Mengembangkan rasa ingin tahu dan imajinatif
6. Belajar sepanjang hayat
7. Mandiri dan kerjasama.
Pendidikan Non Formal (PNF) selama ini menggunakan konsep empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning by doing and learning to life together memiliki tujuan untuk (1) melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sendiri dan mungkin sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya; (2) membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, kesiapan bekerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi; dan (3) memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan formal.
Untuk meningkatkan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mampu menghasilkan karya yang bermanfaat, inovatif, dan mandiri maka perlu diadakan bimbingan keterampilan bermata pencaharian/kewirausahaan yang memilki fungsi dalam mewujudkan/mengarahkan keinginan, minat, dan kemauan untuk melakukan aktivitas keterampilan kewirausahaan. Salah satu bentuk layanan pendidikan keterampilan kewirausahaan adalah melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU).
Kelompok Belajar Usaha (KBU) adalah salah satu bentuk kegiatan pendidikan nonformal khususnya program Pendidikan Kewirausahaan dalam rangka :
1. Meningkatkan kemampuan (Capacity Building) masyarakat di bidang usaha produksi yang diselenggarakan berdasarkan situasi, kondisi dan potensi sumber daya alam, sosial, dan sumber daya manusia yang dapat digunakan untuk mendukung kelancaran proses pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.
2. Meningkatkan jumlah dan mutu kelompok belajar usaha yang dapat melayani masyarakat dari berbagai lapisan khususnya masyarakat di pedesaan.
3. Meningkatkan kelompok belajar usaha yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
4. Meningkatkan jumlah lulusan kelompok belajar usaha yang berhasil memperoleh lapangan kerja.
Berdasar pada hal tersebut, maka masyarakat merupakan sasaran utama dan sasaran akhir yang diorientasikan pada kemampuan masyarakat yang berperan aktif sebagai :
a. Penyelenggara atas upaya pemenuhan kebutuhan belajarnya.
b. Dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut dengan upaya peningkatan tarap hidup dan kehidupannya, dan penggagas serta penggerak bagi dirinya sendiri maupun masyarakat lain di lingkungan sekitar.
Jadi dengan memperhatikan pernyataan tersebut nampak jelas bahwa keberhasilan Negara kita di dalam pembangunan akan sangat ditentukan oleh peranan pendidikan yang mampu menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang yang kreatif, inovatif, produktif dan profesional dalam mengembangkan dan memberdayakannya, sehingga memperoleh hasil kegiatan belajar, hasil keterampilan warga belajar, dan pemasaran hasil keterampilan yang memiliki aspek efektivitas pada masukan yang merata, keluaran yang banyak dan bermutu tinggi, ilmu dan keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun, pendapatan tamatan serta keluaran yang memadai. Karena kajian efektivitas merupakan suatu usaha yang panjang dan berkesinambungan mulai dari masalah input, proses, output dan outcome dengan indikator yang tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, Indonesia masih banyak dihadapkan pada masalah kuantitas disamping masalah kualitas. Masalah kuantitas berkaitan dengan masih banyaknya usia sekolah yang belum tertampung di bangku sekolah, jumlah angka buta aksara masih tinggi, jumlah anak usia balita yang belum tertangani perkembangannya masih cukup banyak. Masalah kualitas misalnya beeerkaitan dengan jumlah lulusan pendidikan formal yang masih menganggur cukup tinggi.
Pendidikan Non Formal/Pendidikan Luar Sekolah memiliki peranan untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Peranan pendidikan non formal yang dapat ditampilkan dalam masalah pemecahan pendidikan adalah sebagai pelengkap (complementary education), sebagai penambah (supplementary education), sebagai pengganti (substitute education).
Sebagai pelengkap, pendidikan luar sekolah/pendidikan non formal dapat menyajikan berbagai mata pelajaran atau kegiatan belajar yang belum termuat dalam kurikulum pendidikan formal, sedangkan materi atau kegiatan belajar tersebut sangat dibutuhkan oleh peserta didik atau masyarakat yang menjadi layanan pendidikan formal tersebut.
Sebagai penambah, pendidikan non formal dapat memberikan kesempatan tambahan pengalaman belajar dalam mata pelajaran yang sama dengan yang ditempuh di sekolah. Peserta didik terdiri dari tiga katagori, yaitu : (1) siswa suatu jenjang pendidikan sekolah yang membutuhakan kesempatan belajar guna memperluas pemahaman dan penguasaan materi pelajaran tertentu; (2) mereka yang telah menamatkan jenjang pendidikan sekolah dan memerlukan layanan pendidikan guna memperluas pemahaman dan penggunaan materi pelajaran yang telah diperoleh; (3) mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan atau penampilan diri dalam masyarakat.
Sebagai pengganti, pendidikan non formal dapat menggantikan fungsi sekolah di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pendidikan sekolah. Peserta didiknya tidak tergantung usia, bisa anak usia sekolah maupun orang dewasa yang karena berbagai alasan tidak memperoleh kesempatan untuk memasuki pendidikan sekolah.
Program pembelajaran berkembang sesuai dengan tempat dimana program dilakukan. Dengan demikian yang diperlukan bukan program yang standar dalam arti isi, metode, bahan belajar, waktu, tetapi standar kebiasaan (competencies) dari tiap jenis kegiatan belajar agar program benar-benar menghasilkan keterampilan yang dituntut oleh suatu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana para pengelola program mampu menggali potensi lingkungan dan pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang harus dikuasai warga belajar sesuai dengan pilihan program belajarnya, agar nantinya warga belajar merasakan manfaat dari keikutsertaannya di dalam program belajar tertentu. Program pembelajaran ini dikembangkan sesuai dengan keadaan kehidupan warga belajar dan menggunakan mata pencaharian mereka sebagai sarana belajar sehingga mereka akan lebih mudah dan tertarik untuk belajar, karena apa yang dipelajari menunjang pengembangan mata pencahariannya.

2. Rasionalisasi PLS harus berbasis potensi lokal menuju persaingan nasional dan global
Proses perubahan didalam era globalisasi berkenaan juga dengan politik dan sosial budaya. Perubahan sosial ekonomi, politik dan budaya secara global inilah yang kita sebut proses globalisasi. Proses ini didukung oleh kemajuan transportasi dan komunikasi modern dalam apa yang dikenal dewasa ini sebagai era cybernetic yang melahirkan cybernation, cybersociety, information superhighway, telah menyatukan umat manusia didalam satu-kesatuan dengan berbagai konsekuensinya. Dunia dewasa ini sedang mengalami prosestransformasi sosial politik dan ekonomi yang saling kait-mengait. Para ahli mengatakan dewasa ini sedang terjadi proses pembentukan global village atau kampung global. Didalam kaitan ini ada yang mengatakan bahwa dunia ini telah menjadi dunia-tanpa-batas, borderless world, meredupnya nation state, dan berbagai ungkapan seperti placeless society dan sebagainya.
Era globalisasi adalah era mesyarakat terbuka. Adapun karakteristik masyarakat terbuka ialah dalam bidang ekonomi ditandai oleh adanya pasar bebas. Pasar bebas meminta kemampuan kreasi dan menghasilkan berbagai karya baik karya akal, maupun produk yang mempunyai kualitas yang tinggi. Kualitas adalah bendera dari masyarakat terbuka didalam bidang ekonomi. Pendidikan merupakan unsur kunci dalam terbentuknya suatau masayarakat madani. Dalam bidang budaya, masyarakat terbuka ditandai oleh adanya budaya global. Disini terdapat suatu paradoks antara kebutuhan untuk bersama umat manusia didalam budaya universal berbenturan dengan adanya budaya lokal dimana manusia itu hidup dan berbudaya. Para ahli beranggapan bahwa budaya lokal tidak mungkin terhapus didalam budaya global, malahan budaya global hanya dapat terjadi di atas dasar landasan yang kokoh dari budaya lokal. Di dalam kaitan ini kita berbicara dengan perlunya mempertahankan dan mengembangkan identitas nasional beradasarkan budaya lokal.
Dengan mengetahui akan kekuatan – kekuatan global yang sedang terjadi dan akan terjadi di dunia sekarang dan masa depan, maka jelas tampak adanya saling pengaruh mempengaruhi antara proses globalisasi dan pendidikan. Berbagai kekuatan global yang mempengaruhi pembangunan pendidikan kita kini dan di masa yang akan datang atau yang menuntut pradigma pendidikan nasional yang baru:
a) Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kawasan regional maupun dikawasan global. Tujuan kita adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang langsung (sustainable economic growth) sehingga dapat meningkatakan taraf hidup seluruh masyarakat.
b) Keanggotaan individu di dalam masyarakat Indonesia yang demokratis. Hal ini berarti bahwa masyarakat demokratsi Indonesia hanya akan dapat terjamin mutunnya karena kualitas dari individu. Kualitas individu manusia Indonesia tersebut adalah hasil dari pendidikan yang bermutu. Hanya dengan kualitas demikianlah masing masing warga negara Indonesia dapat dapat berpartisispasi di dalam masyarakat demokratsis Indonesia.
c) Di dalam masyarakat masa depan haruslah ada hubungann antara masyarakat lokal dengan masyarakat dunia. Tanpa masyarakat lokal yang bermutu tidak mungkin diciptakan suatu masyarakat dunia yang bermutu. Oleh sebab itu masyarakat lokal adalah merupakan tumpuan dari terciptanya masyarakat global yang aman, adil, dan makmur.
Pendidikan Non Formal/Pendidikan Luar Sekolah memiliki peranan untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Peranan pendidikan non formal yang dapat ditampilkan dalam masalah pemecahan pendidikan adalah sebagai
pelengkap (complementary education), sebagai penambah (supplementary education), sebagai pengganti (substitute education).
Sebagai pelengkap, pendidikan luar sekolah/pendidikan non formal dapat menyajikan berbagai mata pelajaran atau kegiatan belajar yang belum termuat dalam kurikulum pendidikan formal, sedangkan materi atau kegiatan belajar tersebut sangat dibutuhkan oleh peserta didik atau masyarakat yang menjadi layanan pendidikan formal tersebut.
Sebagai penambah, pendidikan non formal dapat memberikan kesempatan tambahan pengalaman belajar dalam mata pelajaran yang sama dengan yang ditempuh di sekolah. Peserta didik terdiri dari tiga katagori, yaitu : (1) siswa suatu jenjang pendidikan sekolah yang membutuhakan kesempatan belajar guna memperluas pemahaman dan penguasaan materi pelajaran tertentu; (2) mereka yang telah menamatkan jenjang pendidikan sekolah dan memerlukan layanan pendidikan guna memperluas pemahaman dan penggunaan materi pelajaran yang telah diperoleh; (3) mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan atau penampilan diri dalam masyarakat.
Sebagai pengganti, pendidikan non formal dapat menggantikan fungsi sekolah di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pendidikan sekolah. Peserta didiknya tidak tergantung usia, bisa anak usia sekolah maupun orang dewasa yang karena berbagai alasan tidak memperoleh kesempatan untuk memasuki pendidikan sekolah.
Program pembelajaran berkembang sesuai dengan tempat dimana program dilakukan. Dengan demikian yang diperlukan bukan program yang standar dalam arti isi, metode, bahan belajar, waktu, tetapi standar kebiasaan (competencies) dari tiap jenis kegiatan belajar agar program benar-benar menghasilkan keterampilan yang dituntut oleh suatu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana para pengelola program mampu menggali potensi lingkungan dan pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang harus dikuasai warga belajar sesuai dengan pilihan program belajarnya, agar nantinya warga belajar merasakan manfaat dari keikutsertaannya di dalam program belajar tertentu. Program pembelajaran ini dikembangkan sesuai dengan keadaan kehidupan warga belajar dan menggunakan mata pencaharian mereka sebagai sarana belajar sehingga mereka akan lebih mudah dan tertarik untuk belajar, karena apa yang dipelajari menunjang pengembangan mata pencahariannya.

3. Pendidikan Berbasis Sosial Budaya dan Religi
Pendidikan berbasis sosial budaya
Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan secara menyeluruh, pendidikan merupakan jalan, saluran untuk meneruskan kebudayaan, dalam arti pendidikan merupakan alat untuk menanamkan kemamupan bersikap, bertingkah laku disamping mengajarkan keterampilan dan ilmu pengetahuan untuk bisa memainkan peranan sosial secara menyeluruh dan sesuai dengan tempat dan kedudukan individu dalam masyarakat (Haryati Soebadio, 1987 : 37). Dalam arti sempit seperti yang dikemukakan oleh Lodge dalam bukunya “Philosophy of Education” adalah pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan ada istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya. Hubungan pendidikan dan kebudayaan paling tidak terdapat kata – kata kunci, yaitu: bahwa pendidikan itu merupakan proses kegiatan akulturasi (pembudayaan), proses intitusionalisasi (pelembagaan), transfer (pengalihan), imparting (memberikan, menggambarkan), explain (menjelaskan), justity (menjelaskan), dan directing (mengarahkan).
Pendidikan berbasis agama
Melalui proses ini diharapkan terjadi transformasi sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam peningkatkan partisispasi pendidikan. transformasi ini akan berlangsung sesuai dengan alur informasi yang diterima dan mempengaruhi cara pandang dan perilaku sosial yang diperankan masyarakat.
Proses sosialisasi nilai nilai ajaran agama berkaitan dengan pendidikan dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stake holders). Berbagai aktifitas dan lingkungan sosial yang bernuansa keagamaan dapat menjadi saluran strategis yang dilakukan oleh para pemuka agama.
Agama mengandung sejumlah nilai, tetapi masih berada pada tataran abstrak yang sering hanya melibatkan aktivitas ritual dan tidak menyentuh aspek sosial. Nilai nilai yang tekandung didalamnya meliputi semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

4. Community Learning Centre
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, menegaskan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Dan Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dan terakhir Undang-undang No. 20 Tahun 2003 sebagai pengganti undang-undang, menyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada ganbar berikut ini.












Gambar I. Jalur Pendidikan Nasional
Dalam gambar di atas tampak Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional terdapat pendidikan formal, non formal, dan informal berada sejajar pada kedudukan yang sama. Bagi pendidikan nonformal, kesejajaran ini secara tegas tercantum pada pasal 26 ayat (6) yang menyatakan bahwa “hasil PLS/PNF dapat dihargai dan setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan”. Dalam Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang
Pendidikan Luar Sekolah, pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa “peserta didik/warga belajar mempunyai hak untuk pindah jalur pendidikan sekolah bilamana memenuhi persyaratan satuan pendidikan yang hendak dimasuki. Hal ini berlaku pula bagi PKBM yang kedudukannya sebagai salah satu satuan belajar PNF. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut secara hukum hasil keluaran atau output PKBM harus mendapat perlakuan yang sama, sesuai ketentuan dalam pasal 26 ayat (1) yang berbunyi :”PLS/PNF diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”. Kemudian bagi mereka yang tidak bisa memasuki jenjang berikutnya, PNF juga dapat menyediakan berbagai layanan pendidikan sebagai pelengkap jenjang pendidikan yang telah diperoleh melalui pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Sudah semakin jelas bagaimana pentingnya peran pendidikan luar sekolah di dalam sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun CLC diasal negaranya Jepang sangat berkembang pesat dikarenakan dukungan pemerintah dan kesadaran msyarakatnya akan pentingnya pengembangan potensi lokal masyaraklat dan berusaha untuk maju bersama. Hal ini lah yang belum disadari di negara kita. Bahwa PKBM di kita masih dianggap sebagai embel-embel pendidikan semata, pada hal kalau kita menyadari bahwa pendidikan yang berbasis lokal dan mengembangkan potensi masyarakat dengan memberdayakan masyakarat oleh mayarakat itu sangat penting. Seprti apa yang telah diaungkapkan Erwin T Sander bahwa pembangunan masyarakat adalah pengembangan ekonomi dan pengorganisasian masyarakat. Teori ini telah diakui oleh berbagai negara maju termasuk Jepang. Bagaimana pentingnya peran masyarakat yang terorganisir dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar dan akhirnya dapat menopang pembangunan Nasional.

5. Magang
Magang adalah proses pembelajaran yang langsung pada keterampilan untuk meninkatkan kemampuan seseorang sehingga mampu berkerja, dan berkarya.Magang berkembang di negara Jerman sebagai upaya membelajarkan masyarakatnya untuk berketrampilan dan memiliki daya guna dalam pekerjaan dan dapat dilakukan dengan singkat namun berkualitas.
Secara sosiologis Indonesia sebenarnya merupakan negara yang memiliki masyarakat yang plural dan hal ini magang sangatdiperlukan mengingat bahwa pola pemberian keterampilan melalui magang begitu efektif dan effisien untuk menanggulangi berbagai kebutuhan pekerjaan dan matapenaharian. Namun Indonesia banyak mengalami kegagalan mengingat bahwa negara kita belum begitu konsen pada magang ini. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi yang mendasar dan mendalam untuk memehami pentingnya magang. Dan menyediakan fasilitas yang dapat menunjang pada pembelajaran. Masyarakat kita memiliki banyak mata pencaharian yang begitu beragam mengingat perbedaan budaya, iklim, struktur tanah, dan lingkungan alam yang berbeda. Dari aspek budaya kita memungkinkan untuk menggerakan magang ini, masyarakat kita yang toleran dan terbiasa dengan gotong royong maka magang ini akan sangat mudah untuk diterapkan. Kolektivitas masyarakat kita itulah sebenarnya potensi kita untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat melalui magang. Kebiasaan turun temurun dalam melakukan pekerjaan bertani, bernelayan, dan berdagang pada masayarakat kita akan dapat menunjang magang sebagai cara yang effktif dan efisien. Hal ini tergantung pada pemerintah kita bagaimana keseriusan memprioritaskan pendidikan dalam pembangunan termasuk pendidikan nonformal dalam bentuk magang. Dan dilihat dari khalayak yang cenderung dalam magang ini maka prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa dapat diterapkan, pendidikan yang berorientasi ada kebutuhan, keterampilan, kecakapan hidup, aplikatif, dan peningkatan taraf hidup masyarakat dan menitikberatkan pengalaman hidup indivdu dimana warga belajar sebagai pusat dan sumber belajar. Disinilah pentingnya peran pendidikan nonformal dalam membangun masyarakat untuk menjadi masyarakat yang unggul secara individual, bermasyarakat dan bernegara dalam upaya menghadapi persaingan global.

23.10.09

PENDIDIKAN RADIKAL ORANG DEWASA

PENDIDIKAN RADIKAL ORANG DEWASA

Paulo Freire, seorang pendidik Brasil menguraikan dalam Pedagogy oF the Opressed (1970) sebuah pandangan yang radikal mengenai theori penyadaran atau menyadarkan secara politis dan tindakan. Filsafat pendidikan orang dewasa Freire adalah salah satu contoh dari pendidikan filsapat pendidikan orang dewasa yang radikal. Politik yang radikal dalam menggunakan pendidikan sebagai alat politis yang membawa pada perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat.

Akar historis pendidikan radikal orang dewasa

Pendidikan radikal diluar pemikiran pokok filsafat pendidikan. Pemikiran pendidikan radikal sedikitnya memuat tiga sumber. Tradisi anarkis berkembang pada abad ke 18 dan berlanjut hingga abad ke 19 dan 20 yang secara konsisten menentang persekolahan umum sebagai sesuatu yang destruktif pada otonomi individu. Tradisi marxist telah mengkritik sekolah sebagai bentuk alienation (keterasingan) dalam dunia industri modern. Tradisi Marsist muncul sebagai penanggulangan keterasingan yang merupakan langkah pertama dalam perubahan yang radikal. Fraire berada dalam tradisi tersebut dengan theory of conscientization (teori penyadaran). Ketiga tradisi dipresentasikan oleh pengikut Freud dan tersmasuk seperti Wilhelm Reich dan A. S. Neill. Tradisi tersebut menekankan pada perubahan sifat kepribadian, struktur keluarga, dan praktek pengasuhan anak sebagai tahap pertama dalam pendidikan radikal.

Tradisi Anarkist

Tradisi anarkis dalam pendidikan telah diuji oleh Spring (1973, 1975). Sebagai filsapat sosial dan politik para anarkisme yang telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental mengenai peran dan otoritas alamiah dalam masyarakat, dan semenjak abad ke 18 hal tersebut telah mempertanyakan berbagai eksistensi sistem persekolahan yang dilaksanakan oleh negara dan kemungkinan bentuk non-authoritarian dalam pendidikan.

Para penganut aliran anarkisme menentang sistem pendidikan nasional kerena keyakinannya bahwa pendidikan nasional dalam sebuah negara dipakai untuk kepentingan politik dan melanggengkan kekuasaan. Perhatian utama dari tradisi tersebut menyajikan berbagai kemungkinan otonomi personal (pribadi). Francisco Ferre, seorang penganut anarkis Spanyol, mengkritik sistem pendidikan dalam pengkodisian siswa untuk ketaatan dan kepatuhan (1913). Sistem pendidikan menerutnya, terikat oleh dogma-dogma politis dan nerusaha membentuk individu untuk menjadi orang negera yang berguna dengan menghilangkan otonomi pribadi dan membatasi kekuatan individu. Inti atau hati pendidikan menurut para aliran anarkist adalah membangun individu untuk dapat memilihi, bebas dari dogma-dogma dan prasangka, dan individu dapat menentukan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan dirinya sendiri. Leo Tolstoi, seorang Kristian Rusia penganut aliran anarkis membedakan antara kebudayaan dan pendidikan. Kebudayaan dipresentasikan penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai tanpa disadari dan disengaja yang membentuk individu; pendidikan membentuk karakter dan menerapkan berbagai bentuk paksaan yang dapat diterima dengan disadari dan disengaja.

Tradisi Sosialis Marxist

Tradisi sosialis marxis dalam pendidikan berusaha menghasilkan kebebasan dan otonomi seseorang melalui perubahan yang revolusioner dari politik ekonomi kapitalis pada bentuk pemerintahan dan ekonomi sosialis. Marx sendiri tidak memberikan pendidikan sebagai suatu peran yg penting dalam membuat revolusi sosialis, pemikiran ini lebih dekat dengan kepentingankepentingan kelas dominan. Pada tahun 1932, ditengah sebuah tekanan, Counts menentang terhadap apa yang telah dicapai para pendidik Amerika terhadap kekuatan politik dan membawa negara pada sosialisme. Seorang pendidik Amerika yang konsisten memelihara posisi sosialis marxis dalam filsafat pendidikan dalah Theodore Brameld, Prof.Emeritus di Universitas Bolton. Dalam hidupnya Brameld telah menyisakan keyakinannya bahwa pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat sosialis, meskipun dia menolak metode indokrinasi yang diungkapkan oleh Counts. Michael Katz (1968) menunjukan bgaimana mereformasi berbagai macam gerakan pendidikan dalam sejarah negara tersebut yang telah mengalami kegagalan untuk mewujudkan perubahan radikal yang dibutuhkan. Reformasi pendidikan menurut analisisnya adalah upaya untuk menghindari perubahan yang radikal dengan perubahan moderat yang mengesankan dalam struktur dan metode pengajaran.

penganut freudian

Salah satu masalah yang mendasar dalam pendekatan sosialis marxis terhadap perubahan pendidikan adalah asumsinya bahwa sekali orang menyadarinya pada pandangannya sebagai struktur sosial yang jahat, dia akan dapat mewujudkan perubahan yang diperlukan. Hal ini menunjukan bahwa setiap orang dicegah dari tindakannya dari kepentingan dirinya sendiri karena struktur otoritarisme yang diungkapkan dari tahap-tahap awal perkembangan anak. Pemecahannya Aliran Freudian mengusulkan pada wilayah kebebasan sexual, perubahan pada organisasi keluarga, dan metode pengasuhan dan pendidikan anak yang liberal. Aliran freudian, terutama direpresentasikan oleh Wilhelm Reich, pemikirin kritis dair Freud mengenai filsafat sosial konservatifnya. Reich merasa bahwa hasil psykoanalisis Freudian telah mengakomodasikan orang untuk menerima struktur sosial yang diberikan sebagaimana halnya sesuatu yang oppresif. Perubahan-perubahan diciptakan pada kesadaran individu dan tidak pada struktur dan nilai-nilai sosial. Struktur karakter hendak harus dirubah dengan bentuk-bentuk pengasuhan anak dan bentuk-bentuk pendidikan yang berbeda. Neil melihat sumber permasalahan dunia dalam refresi drive anak. Dia tidak memperbolehkan pendidikan moral dan religi di sekolah. Siswa didorong untuk memiliki kehidupan sexualnya sendiri.

Uraian pembahasan ringkas tradisi radikan ini dalam pendidikan tidak adil pada kekayaan dan perbedaan gagasan yang radikal. Bagaimanapun juga, hal tersebut saat ini membutuhkan latarbelakang intelektual untuk memahamu pemikiran pendidikan radikal saat ini. Pemikiran radikal kuat dalam kritisme dan visi-visi. Yg membuat pemikiran radikal kritis dan merepresentasikan visinya tradisi radikal mempersoalkan nilai, struktur, dan praktek-praktek dasar dalam masyarakat. Setiap area kehidupan sosial yang disentuh oleh para teorisi radikal : system-sistem keluarga, sekolah, pekerjaan, religi, ekonomi dan politik.

Teori Penyadaran Radikal Paulo Freire

Prinsip-Prinsip Dasar Filsafat Freire

Teori pedagogy Freire tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip filsafatnya. Freire mengklain bahwa.
pedagogy tidak dapat dilakukan tanpa visi manusia dan dunianya. Hal ini merumuskan konsepsi para ilmuwan humanis yang diungkapkan dalam praxis dialogis antara guru dan warga belajar secara bersama-sama, dalam menganalisi realitas dehumanisasi, mengungkapkan untuk mengakhiri transformasi ini dengan atas nama liberalisasi manusia. (1970, p. 4)
Berbagai elemen yg penting dalam pandangan dan filsafat pendidikan Freire adalah berkenaan dengan istilah : visi manusia dan dunia, praxis dialog, hubungan guru-warga belajar, analisis, liberalisasi manusia, dan konsep marxis serta pendangan dunia dan penyadaran.

29.9.09

Perubahan Sikap dan Pengaruh Sosial

PERUBAHN SIKAP DAN PENGARUH SOSIAL
Studi sikap dan perubahannya dilakukan pada awal 1920 dan 1930 an. Para peneliti pada waktu itu tertarik pada tingkat perbedaan sikap yang terjadi oleh perbedaan kelompok ( sebagai contoh, berbagai sikap terhadap Spanish Civil War yang dilakukan oleh para konservatif dan liberal) dan pengaruh yg muncul oleh media komunikasi yang diukur dengan berbagai tanggapan terhadap berbagai pertanyaan yang diukur dengan skala sikap (pengaruh surat kabar, pamplet, gambar-gambar gerak dalam berbagai opini). Kebanyakan para peneliti pada saat ini ( seperti Sherif & Hovland, 1961) mencatat bahwa sedikit yang behubungan dengan proses psikologis yang terdapat pada ekpresi sikap secara individual dan pola kondisi-kondisi stimulus yang menunjukan perubahan. Semenjak tahun 1930 an nampak peningkatan yang berkenaan dengan proses psikologis pada sikap dan modifikasinya.
Komunikasi Satu Arah versus Komunikasi Dua Arah
Peran apakah yang menarik pada organisasi argumen dalam berbagai persuasive yang effektif?
Dalam berbagai eksperimen mengenai komunikasi masa, banyaknya laporan studi pada waktu perang, Hoveland, Lumsdaine, and Sheffield (1949) meneliti bukti-bukti yang mendukung pada berbagai thesis komunikasi, hal ini lebih effektif dipresentasikan oleh bahan-bahan tertentu yang mendukung isu-isu atau berbagai argumen-argumen yang bertentangan dengan hal tersebut.
Para peneliti tersebut mempresentasikan dua kelompok eksperimental komunikasi yang terdiri 214 tentara dan kelompok pengendali (control group) yang terdiri dari 197 tentara apa yang terjadi pada Jepang ketika awal berakhirnya perang setelah German menyerah pada tahun 1945. Semua tentara diuji berkali-kali sebelum terjadinya komunikasi atau berita yang meyakinkan apakah Jepang akan menyerah. Satu kelompok eksperimental diberikan limapuluh menit untuk mengungkapkan apa yang dipresentasikan hanya pada berbagai argumen yang mendukung suatu pemikiran bahwa perang Jepang akan berlangsung lama : paparan tersebut termasuk berbagai materi-materi faktual yang menekankan kekuatan Jepang. Kelompok eksperimental lainnya diberikan sebuat berita atau komunikasi yang memuat materi yang sama plus tambahan empat menit informasi, diberikan dalam sebuah presentasi, yang menekankan keuntungan Amerika dan kelemahan Jepang.
Hipotesa para peneliti terhadap para tentara yang telah diuji hanya argumen satu arah yang menyangsikan sebuah paparan yang gagal pada argumen-argumen yang bertentangan dan akan distimulus terhadap posisi dirinya sendiri secara berulang-ulang dan mencari cara-cara baru yang mendukungnya. Setelah pemaparan materi, para tentara diuji lagi dengan keyakinan mengenai kemungkinan Jepang bertahan lama dalam peperangan, dan mengukur perubahan sebelum dan sesudah presentasi dihitung. Efektivitas program dievaluasi dengan membandingkan rata-rata perubahan pada setiap kelompok eksperimental dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kelompok pengendali (control group) yang tidak mendengarkan komunikasi atau berita namun jarang diberikan “sebelum” dan “sesudah” pengukuran sikap pada waktu yang sama terhadap kelompok eksperimental.
Kedua program eksperimental telah ditemukan sesuatu yang sangat efektif yg menghasilkan perubahan pada opini manusia, namum pada program yang lainya terjadi hal yang sangat menguntungkan bagi keseluruhan audien. Tergantung pada posisi seorang pendengar, bagaimanapun juga, effek jaringan berbeda dengan dua cara dalan merepresentasikan bahan-bahan. Program tersebut memberikan dua arah lebih efektif bagi orang-orang terutama yang berlawanan dengan posisi yang dianjurkan, karena program tersebut memberikan gambar satu arah yang lebih effektif bagi orang-orang yang lebih menyukainya.
Para peneliti juga mengharapkan secara jelas bahwa komunikasi satu arah kurang effektif bagi orang-orang yang terlatih, dan orang-orang tersbut akan lebih menyukai argumen-argumen yang pasti yang nampak mengambil faktor-faktor yang terukur. Orang-orang yang kurang terlatih, dilain pihak, dengan skill yang tidak berkembang dalam pemikiran yang kritis, mungkin lebih kuat dalam argument satu arah, tanpa berpikir objeksi. Harapan tersebut dibuktikan : program yang dipresentasikan dengan kedua arah lebih efektif pada orang-orang yang berpendidikan lebih baik, dan program yang dipresentasikan satua arah lebih effektif pada orang-orang yang kurang terdidik atau terlatih.
Ringkasan dari kedua eksperimen tersebut, Hovland, Janis, and Kelley (1953, p. 110) menyimpulkan bahwa komunikasi dua arah lebih efektif ketika komunikasi berjalan dalam kurun waktu yang lama, audien diungkapkan dalam counterpropaganda berikutnya atau sewaktu-waktu, para audien sangat menolak pada posisi yang dianjurkan oleh seorang komunikator.
Kesimpulan selanjutanya mengenai keefektivitasn relatif komunikasi satu arah dan dua arah diperluas oleh para peneliti ( Thistlethwaite & Kamenetsky, 1955). Perubahan sikap cenderung lebih nampak pada subjek-subjek tersebut yang menyeluruh dari kesimpulan seorang komunikator sangat dipengaruhi atau kurang sama sekali terhadap reaksi komunikasi.

Efek Mengungkapkan Kesimpulan

Bagaimanapun juga kesimpulan harus dinyatakan secara meyakinkan dalam sebuah komunikasi persuasif yang merupakan suatu pertanyaan yg sudah lama diargumentasikan oleg para propaganda, pendidik, dan para pembicara umum. Hal ini apakah lebih effektif untuk memberikan kebebasan pada seorang audien untuk memaparkan kesimpulannya sendiri, atau lebih baik membuat kesimpulan secara implisit? Jika kita berasumsi secara tidak langsung menganggap lebih effektif atau keputusan tersebut lebih effektif ketika dengan bebas tercapai, kita mungkin mengharapkan sebuah presentasi dari suatu kesimpulan yang implisit yang lebih kuat. Namun sebagian orang, terutama yang kurang cerdas, akan terjadi kesalahan penyimpulan yang terutama dibuat tidak dinyatakan secara eksplisit.
Hovland and Mandell (1952) merancang sebuah eksperimen untuk mempelajari permasalahan ini secara sistematis. Mereka membandingkan dua tipe komunikasi yang identik dengan tanggapan pada salah satu bentuk komunikasi tersebut : pertama, komunikatir menguraikan kesimpulannya diakhir, dan yang kedua, kesimpulan diserahkan pada audien.
- Mengemukakan sebuah kesimpulan dalam setiap pesat terbukti akan lebih effektif dalam merubah pendapat mereka yang berpendidikan rendeh daripada mereka yang berpendidikan tinggi.
- Pada umumnya meskipun penelitian telah digunakn untuk memperkuat penelitian sebelumnya.
- Pada umumnya, kita boleh menyatakan bahasa komunikasi persuasif yang menyugunhkan kerumitan dan akan lebih effekltif bilamana kesimpulan dikemukakan.
- Perkembangan satu dengan yang lainnya tergantung pada kondisi yang mana komunikasi itu dilakukan, termauk tipe komunikasi tersebut.
- Komitment umum adalah faktor penting dalam pengaruh umum dan khusus.
- Subjek kepentingan
- Perhatian pada isi keseluruhan komunikasi, pemahaman pesan komunikasi, mengungkapkan kesimpulan

20.9.09

KONSEKUENSI INOVASI

Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi atau Akibat dari suatu perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial merupakan hasil dari suatu adopsi atau penolakan terhadap innovasi. Sebuah inovasi memiliki sedikit dampak sampai inovasi itu didistribusikan ke dalam berbagai anggota sistem dan digunakan oleh para anggota sistem itu. Kemudian, invensi dan difusi merupakan tujuan yang dicapai : berbagai konseksuensi dari pengadopsian sebuah inovasi.

Meskipun pentingnya mempertimbangkan sebuah konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi, namum sedikit studi yang dilakukan oleh para peneliti difusi. Kurangnya perhatian dan data mengenai konsekuensi menyulitkan kita untuk mengeneralisasikan mengenai konsekuensi suatu inovasi. Kita dapat menguraikan berbagai konsekuensi dan menentukan katagori-katagori untuk mengklasifikasikan berbagai konsekuensi, namun tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana konsekuensi tersebut akan terjadi.

Tidak hanya para peneliti yang telah memberikan begitu sedikit perhatiannya
mengenai konsekuensi, agen perubahanpun juga sama. Mereka seringkali berasumsi bahwa adopsi dari suatu inovasi yang diterapkan akan menghasilkan keuntungan semata bagi para adopter yang mengadopsinya. Asumsi tersebut merupakan sebuah bias pro-inovasi, yang dibahas pada bab 3. Para agen perubahan akan menguraikan responsibilitasnya terhadap berbagai konsekuensi dari sebuah inovasi yang mereka kenalkan. Mereka harus dapat memprediksikan keuntungan dan kerugian suatu inovasi sebelum memperkenalkan sebuah inovasi pada clien-cliennya, namun hal tersebut jarang dilakukan oleh para agen. Dalam bahasan ini diusulkan model baru yang membawa pada permasalahan berikutnya yang berkenaan dengan variabel yang disebut konsekuensi.

Konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi belum dipelajari secara memadai karena (1) setiap agen perubahan lebih menitikberatkan pada adopsi saja, yang menganggap bahwa inovasi akan mendatangkan akibat yg positif; (2) metode survey penelitian pada umumnya kurang tepat untuk mengungkapkan berbagai konsekuensi atau berbagai akibat dari sebuah inovasi; dan (3) akibat atau konsekuensi sulit untuk diukur.

Akibat atau konsekuensi diklasifikasikan sebagai berikut : (1) yang diinginkan versus yang tidak inginkan, (2) langsung versus tidak langsung, dan (3) yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Konsekuensi atau akibat yang diharapkan atau diinginkan merupakan pengaruh berfungsinya dari sebuah inovasi pada individu atau sistem sosial. Sedangkan Konsekuensi atau akibat yang tidak diharapkan atau tidak diinginkan murupakan pengaruh tidak berfungsinya dari sebuah inovasi pada individu atau system sosial. Hal tersebut seringkali sulit untuk menghindari ketentuan-ketentuan nilai ketika mengevaluasi berbagai konsekuensi atau akibat yang diinginkan atau tidak diinginkan. Pada kenyataannya, banyak inovasi memberikan konsekuensi yang positif dan negatif, hal ini diakibatkan kekeliruan yang menganggap bahwa dampak yang diinginkat dapat dicapai tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun asumsi tersebut seringkali secara tidak disadari terjadi. Kesimpulan kita, bagaimanapun juga, hal ini umumnya sulit atau mungkin mengatur pengaruh sebuah inovasi untuk memisahkan innovasi yang diinginkan dari berbagai konsekuensi atau akibat yang tidak diinginkan. (generalisasi 11-1)

Konsekuensi atau akibat langsung sebuah inovasi merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi secara langsung dari sebuah inovasi. Sedangan konsekuensi atau akibat tidak langsung merupakan perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari akibat atau konsekuensi langsung suatu inovasi.

Konsekuensi atau akibat yang terantisipasi merupakan perubahan yang berkenaan dengan inovasi yang diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh para anggota sistem sosial. Konsekuensi atau akibat yang tidak terantisipasi merupakan perubahan dari sebuah inovasi yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud oleh para anggota system sosial.

Berbagai konsekuensi atau akibat inovasi yang tidak diinginkan, tidak langsung, dan tidak terantisipasi pada umumnya terjadi secara bersamaan, sebagaimana halnya konsekuensi atau akibat yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi (generalisasi 12-1). Kami menunjukan sebuah ilustrasi dari generalisasi tersebut dalam memperkenalkan kampak baja atau alat pemotong dari baja pada suku Aborogin Australian, yang membawa banyak konsekuensi yang diinginkan, langsung, dan terantisipasi, termasuk rincian struktur keluarga, kemunculan prostitusi, dan “penyalahgunaan” innovasi itu sendiri. Kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga intrinsik elemen inovasi : (1) Bentuk, yang langsung secara pisik dapat dilihat dan subtansi inovasi, (2) fungsi, kontribusi yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup para anggota sistem sosial, dan (3) tujuan : persepsi inovasi yang subjektif dan disadari oleh para anggota sistem sosial. Para agen perubahan lebih mudah dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi untuk para kliennya dari pada tujuannya. (generalisasi 11-3).

Dalam menentukan tingkat perubahan yg ideal dalam sebuah sistem, konsep keseimbangan harus dipertimbangkan. Stable equilibrium (keseimbangan yang stabil) terjadi ketika hampir tidak ada perubahan pada struktur atau fungsi sistem sosial. Sedangkan Dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis) terjadi ketika tingkat perubahan dalam sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem untuk menanganinya. Disequilibrium (ketidakseimbangan) terjadi ketika tingkat perubahan terlalu cepat pada sistem sosial untuk menyesuaikan. Para agenperubahan secara umum berharap mencapai tingkat perubahan yang membawa pada dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis), dan menghindari pada ketidakseimbangan atau disequilibrium.

Sebagai paradigma pembagunan yang dominan yang mulai dipertanyakan pada awal 1970 an, dan berbagai macam alternatif paradigma pembangunan tersebut diungkapkan, pentingnya keseimbangan sebagaimana pentingnya konsekuensi dari berbagai aktivitas difusi mulai direalisasikan. Pertama tujuan dari program difusi adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam sebuah sistem; namun yang kedua dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi yang baik diantara para anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang seimbang. Berbagai konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan lamban mengadosi berbagai katagori dalam suatu sistem. (generalisasi 11-4). Selanjutnya, berbagai konsekuensi dari pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang tinggi dan orang yang status sosial ekonominya rendah. (generalisasi 11-5).

Struktur sistem sosial secara terpisah menentukan seimbang verses tidak seimbang dari sebuah konsekuensi inovasi (Generalisasi 11-6). Ketika sebuah struktur sistem dalam keadaan yang begitu tidak seimbang, konsekuensi dari suatu inovasi ( terutama jika inovasi tersebut berkenaan dengan biaya yang tinggi) akan membawa keadaan yang sangat tidak seimbang dalam bentuk kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi apakah yang dapat dipakai untuk memperkecil kesenjangan ? jawabannya tergantung pada tiga alasan utama mengapa kesenjangan sosial ekonomi meluas sebagai konsekuensi dari inovasi : (1) “yg diatas” memiliki akses informasi yang lebih banyak untuk menciptakan kesadaran mengenai inovasi; (2) mereka memiliki akses informasi yang lebih banyak mengenai evalasi inovasi dari teman sejawat; dan (3) “yang diatas” memiliki kurang lebih sumber daya untuk mengadopsi inovasi dari pada yang “dibawah.”

Ketika upaya-upaya yang khusus diciptakan oleh seorang agen difusi, hal tersebut mungkin untuk memperkecil, atau paling sedikit tidak memperluas, kesenjangan sosial ekonomi dalam sistem sosial (generalisasi 11-7). Dengan kata lain, berbagai kesenjangan yang melebar tidak terjadi.

Satu peranan penting untuk penelitian difusi dimasa mendatang adalah mengungkapkan berbagai strategi yang lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan diantara para anggota sistem sosial. Hal ini baru, sulit and peranan yang menjanjilan untuk orang-orang yang mempelajari difusi.